Oleh: Gede Prama
Setiap perjalanan (termasuk perjalanan hidup) sering diganggu oleh pertanyaan nakal sekaligus usil : di mana dan bagaimana akhirnya ? Disebut nakal dan usil karena pertanyaan ini juga yang membuat manusia buru-buru, tidak sabar, mudah memberi judul gagal. Untuk kemudian, membiarkan hampir setiap pengalaman keseharian kehilangan keindahannya. Seperti berjalan ke Bandung lewat Puncak misalnya. Karena tidak sabar dan buru-buru maka keindahan pemandangan berupa hijaunya daun teh, hamparan pemandangan yang berujung pada kota Jakarta sampai dengan hawa dingin, segar dan sejuk, hilang begitu saja tanpa sempat dinikmati.
Hal yang serupa juga terjadi dengan kehidupan. Setiap langkah yang buru-buru dan tidak sabar mau segera sampai di tujuan, membuat terlalu banyak keindahan yang hilang. Seperti memakan sebatang pisang. Ketika buru-buru tidak saja hadir kemungkinan lidah tergigit, tetapi juga banyak keindahan yang hilang. Memakan pisang (demikian juga hidup) tujuannya bukanlah menghabiskan pisangnya secepat dan sesingkat mungkin. Melainkan menikmati setiap gigitan dan kunyahan. Setiap gerakan mulut sebenarnya menghadirkan keindahan
Dalam hidup juga tersedia terlalu banyak sahabat yang buru-buru. Ketika lulus sekolah, buru-buru mau bekerja. Setelah bekerja, buru-buru mau jadi direktur. Setelah jadi direktur buru-buru mau jadi presiden direktur. Setelah jadi presiden direktur, baru terasa kalau banyak sekali yang hilang. Tawa canda sahabat ketika masih di bawah dulu. Ketulusan dan kejujuran orang lain ketika masih jadi orang bisasa. Teman-teman sekeliling yang datang hanya untuk berteman, tanpa motif yang kotor-kotor. Pelukan dan ciuman anak istri yang dulu sering hadir karena waktu bersama yang melimpah. Dan setelah menoleh seperti ini, baru sadar kalau dalam langkah-langkah hidup yang buru-buru, banyak sekali yang hilang di belakang. Dan diganti oleh kekinian dan masa depan yang kering, gersang dan penuh ketakutan.
Disinari oleh kesadaran seperti inilah, mulai banyak pejalan kaki di dunia kejernihan berhenti buru-buru. Bukannya berhenti berusaha, sekali lagi bukan. Melainkan berhenti buru-buru dan berhenti diganggu oleh pertanyaan usil dan nakal : di mana dan bagaimana akhirnya ? Kemudian bersahabat serta berpelukan mesra dengan kekinian yang suci. Berjalan tetap berjalan, melangkah ke tujuan juga masih, cuman tidak ada keindahan dalam kekinian yang dibiarkan berlalu tanpa rasa syukur.
Seperti Anda yang sedang membaca tulisan pendek ini. Kesimpulan akhirnya memang belum ketahuan. Rangkaian makna yang bisa mengendap ke dalam juga belum tahu. Apa lagi derajat perubahan yang ditimbulkan karena membaca tulisan ini, masih jauh. Cuman ada suara tarikan nafas masuk dan hembusan nafas keluar yang berbunyi dan bertutur tentang sesuatu. Ada kekayaan badan sehat yang perlu disyukuri. Ada kursi empuk yang menyangga dengan setianya. Dan masih banyak lagi yang lain.
Bagi sahabat-sahabat yang sudah belajar berpelukan mesra dengan masa kini yang suci, kemudian ada kekuatan yang mendidik untuk memasuki wilayah surrender (ikhlas). Berbeda dengan pikiran yang serakah memilih sukses di atas gagal, benar di atas salah, baik di atas buruk, keikhlasan ia tidak saja tidak memilih, bahasanya hanya satu : semuanya sudah, sedang dan akan berjalan sempurna ! Salah seorang sahabat yang sudah sampai di sini bernama Eckart Tolle. Dalam karyanya yang berjudul Stillness Speaks ia menulis : sometimes surrender means giving up trying to understand and becoming comfortable with not knowing . Ikhlas bisa berarti berhenti berusaha untuk mengerti. Bahkan ketika tidak tahupun masih merasa aman dan nyaman.
Terus terang, kesimpulan ini agak menghentak. Terutama pada zaman di mana manusia baru merasa aman dan nyaman ketika tahu, tiba-tiba ada yang mengatakan belajar aman dan nyaman ketika tidak tahu. Dan ternyata ada benarnya. Tidak semua segi hidup bisa diketahui. Tiga pertanyaan penting kehidupan (dari mana saya datang sebelum lahir, kenapa ada di sini, kemana pergi setelah mati) menyimpan bagian-bagian gelap yang tidak bisa diketahui. Ilmu pengetahuan sudah berjalan demikian jauh, teknologi sudah bekerja demikian keras, tetapi toh jawaban terhadap ketiga pertanyaan tadi belum bisa disepakati sepenuhnya.
Indahnya, begitu manusia terbiasa aman dan nyaman dalam ketidaktahuan, pintu-pintu keindahan seperti terbuka si sana-sini. Jangankan ketika makan enak, menarik dan menghembuskan nafaspun ada yang indah. Jangankan ketika berlimpah rezeki, tanpa ada limpahan rezekipun masih ada yang bersyukur di dalam sini. Jangankan ketika sehat, tatkala sakitpun masih bisa melihat makna. Jangankan ketika naik pangkat, tatkala pensiunpun tersisa berlimpah keindahan.
Salah seorang sahabat yang pernah sampai di sini bernama James Redfield. Dalam sebuah karyanya yang menawan yang berjudul The Secret of Shambala , ia menulis : focus on the beauty, and begin to breath in the energy within. Ketika manusia terfokus pada keindahan, dan menarik energi di dalam melalui nafas, di mana-mana hanya tersisa keindahan, keindahan dan hanya keindahan.
Dalam lapisan-lapisan keindahan yang lebih dalam, Hazrat Inayat Khan pernah mengemukakan, bukankah keindahan adalah bahasa Tuhan ? Ketika topeng keindahan dibuka, bukankah yang tersiasa hanya kesucian ? Tatkala semuanya hanya keindahan, bukankah ada yang terlahir kembali?
Gede Prama: Pada Akhirnya Hanya Keindahan
Reviewed by Rain
on
12:50 AM
Rating:
No comments: